delikreportase.com

Copyright © delikreportase.com
All rights reserved
Desain by : Aditya

Kisah Kursi Panas Hakim Konstitusi Patrialis Akbar

Rekam jejak Patrialis Akbar, yang ditangkap KPK Rabu malam, 25 Januari 2017 sejak awal tak mulus ceritanya. Tidak sedikit penentangan mengenai pengangkatan mantan Menteri Hukum dan HAM diera Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu..

 

KABARRIAU.COM, Jakarta - Rekam jejak Patrialis Akbar, yang ditangkap KPK Rabu malam, 25 Januari 2017, sebagai Hakim Mahkamah Konsitusi, sejak awal tak mulus ceritanya. Tidak sedikit penentangan mengenai pengangkatan mantan  Menteri Hukum dan HAM di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) duduk di kursi panas hakim Mahkamah Konstitusi.

Presiden SBY pada akhir Juli 2013, menunjuk mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, menggantikan Achmad Sodiki yang memasuki masa pensiun. Saat itu SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013.

Dua hakim konstitusi lainnya yang masih menjabat, M. Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati, juga kembali didaulat menjadi hakim konstitusi untuk periode 2013-2018.

Penunjukan Patrialis memunculkan suara penolakan terhadap keputusan pemerintah. Indonesia Corruption Watch (ICW), langsung menolak pengangkatan Patrialis. Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW kala itu, menilai pemerintah tidak transparan dalam pengangkatan Patrialis. "Apalagi tidak melalui uji seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat," ucapnya 31 Juli 2013 silam.

Sementara pemerintah waktu itu tetap kukuh melanjutkan penunjukan politisi Partai Amanat Nasional itu. "Ini wakil pemerintah di Mahkamah Konstitusi, maka hak pemerintah menentukan," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.

Bahrain, aktivis YLBHI dengan lantang mengatakan, pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan asas transparansi dan akuntabilitas dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Presiden juga diduga kuat tidak melaksanakan amanat UU MK, sehingga terjadi ketidaklengkapan syarat dan prosedur, dan melanggar proses perekrutan dalam pencalonan dan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi.
 
Koalisi Masyarakat Selamatkan MK menghimbau presiden membentuk panitia seleksi calon hakim MK. Karena, pengangkatan Patrialis Akbar tidak melalui “saringan” pansel. “Pasal 19 menegaskan bahwa pemilihan hakim MK bersifat transparan dan partisipatif. Maksudnya, dipublikasikan di media. Sehingga masukan dari masyarakat bisa dimanfaatkan.”

Patrialis Akbar pernah dua kali mencalonkan diri jadi hakim dari partai politik. “Sekarang, Pak Patrialis menganggap dia perwakilan dari pemerintah. Siapa yang tidak tahu Pak Patrialis, dua periode dia anggota DPR. Kalau dia dari perwakilan pemerintah – bagaimana itu?” ujar Bahrain.

Kini, KPK mencokok Patrialis Akbar. Tak mulus ia duduk di MK, sampai ujung masa baktinya justru di tempat para hakim menjunjung "kebersihan"-nya.

Patrialis Akbar Pilihan SBY

Penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi periode 2013-2018 pada Juli 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menimbulkan kontroversi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pengangkatan Patrialis tidak transparan. "Apalagi tidak melalui uji seleksi di Dewan Perwakilan Rakyat," ujar Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja ICW kala itu, 31 Juli 2013.

Namun pemerintah berkukuh melanjutkan penunjukan politikus Partai Amanat Nasional itu. "Ini wakil pemerintah di Mahkamah Konstitusi, maka hak pemerintah menentukan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto waktu itu.

Penolakan masyarakat berlanjut. Pada 12 Agustus 2013 Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi melayangkan gugatan atas penunjukan Patrialis Akbar sebagai hakim Mahkamah Konstitusi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta. Koalisi yang terdiri atas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesia Legal Rountable, ICW, Kontras, dan Elsam Indonesia itu beranggapan Presiden SBY telah melanggar tiga undang-undang sekaligus.

Tiga UU itu adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Negara, dan Pasal 19 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tentang Pencalonan Hakim Konstitusi yang harus transparan.

Enam bulan setelah Patrialis resmi mengucapkan sumpah jabatan sebagai hakim Mahkamah Konstitusi di Istana Negara pada 13 Agustus 2013, PTUN memutuskan mengabulkan gugatan Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi pada 23 Desember 2013. Majelis hakim mengharuskan Presiden SBY mencabut Keputusan Presiden Nomor 87/P/2013 tertanggal 22 Juli 2013 tentang pengangkatan Patrialis.

Putusan PTUN itu kemudian dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada 11 Juni 2014, yang menetapkan Patrialis tetap menduduki kursi hakim Mahkamah Konstitusi.

PATRIALIS AKBAR
Kelahiran: Padang, 31 Oktober 1958

Pendidikan:
S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta (1983)
S-2 Program Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (2010)
S-3 Doktor (Hukum) Universitas Padjadjaran, Bandung (2012)

Karier:
- Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (1999-2004 dan 2004–2009)
- Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2011)
- Hakim Mahkamah Konstitusi (2013-kini)

Keluarga:
Istri: Sufriyeni
Anak: 5 orang.

Harta Patrialis Tersebar dari Bekasi, Jakarta, sampai Padang

Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, memulai kariernya sebagai anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada 1999 dari Partai Amanat Nasional (PAN). Patrialis diangkat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi pada 2013.

Pria asal Padang, Sumatera Barat, itu beberapa kali melaporkan harta kekayaannya. Pada 2001, saat menjadi anggota DPR, Patrialis melaporkan harta kekayaannya sebesar Rp 1,24 miliar dan US$ 3.000. Kekayaan itu melonjak menjadi Rp 5,98 miliar dan US$ 9.300 pada 2009 saat diangkat menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kenaikan kekayaan Patrialis terungkap dalam dokumen laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disimpan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam LHKPN yang dilaporkan 6 November 2013, Patrialis memiliki sejumlah aset berupa tanah dan bangunan yang tersebar di Padang, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Bekasi. Ia juga memiliki sejumlah mobil mewah, seperti Toyota Alphard, KIA Carnival, Nissan Juke, dan Honda CRV. Total kekayaannya meningkat menjadi Rp 14,93 miliar dan US$ 5.000.

Patrialis ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis, 26 Januari 2017. Hakim itu diduga menerima suap. Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan bahwa pihaknya telah menangkap seseorang dari lembaga penegak hukum di Jakarta. Sejumlah orang diangkut penyidik KPK. "Perkembangan lebih lanjut akan kami sampaikan," ujar Agus.(*)  

Liputan : Piter.
Editor    : Robinsar Siburian.
Sumber: Tempo

BERITA TERKAIT