delikreportase.com

Copyright © delikreportase.com
All rights reserved
Desain by : Aditya

Inilah Rekam Jejak Novel Baswedan Yang Membuatnya Jadi Target Kriminalisasi

Semua upaya sudah dikondisikan di KPK dengan baik bisa berantakan, jadi kami bisa saja mundur jika penahanan masih dilakukan. Seolah pimpinan KPK tak ada artinya dalam konteks ini.

KABARRIAU.COM , Jakarta - Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso bisa saja mempertanyakan apa hebatnya Novel Baswedan. Namun faktanya, Novel Baswedan dikenal sebagai penyidik dengan rekam jejak jempolan. Pria kelahiran Semarang, 38 tahun ini adalah penyidik yang menangani dan membongkar kasus besar.

Karena itulah mengapa, seluruh pimpinan KPK menganggap perlu menjaminkan diri mereka, untuk menangguhkan penahanan Novel. Dalam suratnya ke Kepolisian, lima pemimpin KPK menjamin Novel tak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatannya. Ketiga hal itu-- melarikan diri, menghilangkan bukti dan mengulangi perbuatan, adalah alasan yang dijadikan dasar polisi menahan Novel Baswedan.

"Kami bisa saja mundur jika penahanan masih dilakukan karena semua upaya yang sudah dikondisikan di KPK dengan baik bisa berantakan," kata Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi SP, Jumat 1 Mei 2015. "Seolah pimpinan KPK tak ada artinya dalam konteks ini."

Mantan Wakil Ketua KPK M Jasin berharap Novel segera dibebaskan. Ia menyebut Novel sebagai penyidik yang profesional dan berintegritas. "Novel adalah penyidik yang profesional dan berintegritas, dia banyak menangani kasus-kasus korupsi besar dan berisiko," ujar Jasin.

Novel masuk KPK pada Januari 2007, ketika lembaga ini dipimpin Taufiequrachman Ruki. Saat itu,cucu Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan, jurnalis, diplomat dan sastrawan yang juga anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), dan Anggota Dewan Konstituante --masih menjadi penyidik polisi untuk KPK. Novel menangani rupa-rupa kasus kakap.

Lulusan Akademi Kepolisian 1998 ini berperan besar dalam melacak pelarian Nunun Nurbaetie. Tersangka pemberi cek pelawat untuk 39 anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 itu kabur ke sejumlah negara. Ia tak hanya melacak, tapi juga membawa Nunun Nurbaetie pulang dari pelariannya ke Tanah Air. Sepupu Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan ini menjadi penjemput Muhammad Nazaruddin, yang lari ke Cartagena Kolombia. Ia menjadi penyidik sejumlah perkara yang membelit bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu.

Novel juga memimpin penyidikan kasus suap proyek penyesuaian infrastruktur daerah yang menyeret sejumlah politikus Senayan, salah satunya politikus Partai Amanat Nasional Wa Ode Nurhayati dan Fahd A Rafiq, Ketua Angkatan Muda Partai Golkar. Kasus ini cukup pelik karena melibatkan para petinggi Badan Anggaran yang diduga menerima suap dari pelbagai daerah untuk persetujuan pencairan dana proyek senilai Rp 7,7 triliun itu.

Novel juga menangkap tersangka korupsi, antara lain Bupati Buol Amran Batalipu dan tiga tersangka kasus suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau. Juga membongkar kasus jual beli perkara pemilukada yang melibatkan Akil Mochtar Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu.

Novel juga menjadi motor pengusutan kasus simulator kemudi yang menyeret sejumlah petinggi Polri. Ia memimpin pengeledahan Markas Korlantas Polri di Cawang, Jakarta Timur 30 Juli 2012 dan memeriksa para perwira polisi yang jadi saksi perkara itu. Termasuk menginterogasi tersangka utama: bekas Kepala Korps Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang ketika itu menjadi Gubernur Akademi Kepolisian.

Sejak itulah, Novel Baswedan terus diincar. Ia juga kerap diteror dan intimidasi. Kesalahan Novel sebagai penyidik dicari-cari. Seorang petinggi Kepolisian saat itu menuturkan, independensi Novel sebagai penyidik membuat ia tak disukai di Kepolisian. Di sebuah mailing list internal kepolisian, namanya dijelek-jelekkan karena memimpin penggeledahan di Korlantas dan memeriksa jenderal polisi aktif. Novel dicap sebagai ”pengkhianat” yang ”hendak menghancurkan korps”.

Dipemeo Oktober 2012, dua hari setelah penetapan Djoko Susilo sebagai tersangka, tim dari Bareskrim Mabes Polri memburu Novel Baswedan dan berencana menangkap perwira polisi itu digedung KPK.

Bareskrim berdalih, Novel adalah tersangka untuk kasus kematian tersangka pencurian burung walet di Markas Kepolisian Resor Kota Bengkulu, tempat ia bertugas sebagai Kasatserse Polres Bengkulu tahun 2004. Kasus itu membuat Novel disidang secara etik dan membuat Novel ditarik ke Jakarta serta ditugaskan sebagai penyidik KPK dari unsur Polri.

Ketegangan penangkapan Novel meledakkan hubungan KPK dan Polri dan membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kala itu) turun tangan. Presiden meminta Kepolisian menghentikan pengusutan kasus Novel.

Polisi kini membuka lagi penyidikan atas Novel setelah KPK menyidik dugaan suap dan gratifikasi Budi Gunawan, calon Kepala Polri yang pelantikannya dibatalkan Presiden Joko Widodo karena menjadi tersangka. Sejumlah personil Bareskrim terbang ke Bengkulu untuk memeriksa Irwansyah, pelaku pencurian sarang burung Walet dan memintanya bersaksi atas penembakan yang terjadi 2004 itu.

Kepada Majalah Tempo, Irwansyah mengaku polisi bertanya hal yang sama yang pernah ditanya tahun 2012. Polisi juga minta dia bersaksi untuk itu.

Budi Gunawan kini dilantik menjadi Wakil Kepala Polri. Kasus suap dan gratifikasi yang semula ditangani KPK, kini diserahkan ke Kejaksaan Agung. Kepada Tempo, Maret lalu, Novel yang sejak November 2014 resmi pensiun dari polisi dan menjadi pegawai tetap KPK, mengaku tak khawatir dengan masa lalunya. Ia mengaku tak macam-macam sepanjang berkarier di Kepolisian. Yang ia cemaskan, kalau kesalahannya dibuat-buat. Tiba-tiba muncul kasus rekayasa. "Tapi saya siap, untuk membuka apa adanya,"kata Novel Baswedan.

 

Polisi: Penangkapan Novel Tak Perlu Izin Kapolri

Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Sutarman (kala itu) menyatakan penyidik tak perlu izin dari Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo (kala itu) untuk menangkap Komisaris Polisi Novel.

"Penyidik itu bekerja independen. Kalau surat perintah penangkapan sudah lengkap, tak perlu lapor kepada Kapolri pun sudah bisa bertindak," kata Sutarman dalam konferensi pers di Markas Besar Kepolisian, Jakarta Selatan, Sabtu, 6 September 2012.

Menurut Sutarman, langkah penyidik Polda Bengkulu kemarin sudah tepat. Mereka sudah berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya karena akan menangkap Komisaris Novel Baswedan di wilayah Jakarta. "Setelah itu mereka datang ke KPK untuk berkoordinasi perihal penangkapan tersebut," kata Sutarman (kala itu).

Hal itu dibenarkan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Dedy Iriawan (kala itu) yang turut serta dalam konferensi pers. "Saya datang mau menghadap Ketua KPK tentang penangkapan tersebut," kata Dedy.

Dedy pun mengatakan bahwa penangkapan oleh penyidik tak perlu dicampuri Markas Besar Kepolisian. "Etikanya lapor ke Polda Metro, minta ditemani ke KPK," ujar Dedy.

Oleh sebab itu, pada Jumat (5/9/2012) malam, dia bersama dua orang anggota Reskrimum Polda Bengkulu dan empat personel Polda Metro Jaya mendatangi gedung komisi antirasuah.

Maksudnya untuk berkoordinasi dengan KPK soal penangkapan Novel. Jika Novel ada di tempat, mereka langsung akan menangkap Novel.

Kepala Divisi Humas Kepolisian Brigadir Jenderal Suhardi Alius (kala itu) menyatakan penyidik Polda Bengkulu membawa redaksiistrasi penyidikan secara lengkap. "berita_oke acara pemeriksaan dan surat-surat ditunjukkan semua," kata dia.

Semalam sejumlah polisi mendatangi kantor KPK. Mereka berusaha menangkap Komisaris Novel Baswedan yang saat ini bertugas sebagai penyidik KPK. Novel diduga terlibat kasus penembakan pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004 silam saat menjabat di Satuan Reserse Kriminal Polda Bengkulu. Dikatakan salah seorang korban kemudian meninggal dunia.

Pimpinan KPK menduga tuduhan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap penyidiknya. Sebab, Novel adalah penyidik berbagai kasus besar korupsi, seperti kasus korupsi simulator kemudi. Kemarin, Novel juga yang memeriksa tersangka simulator kemudi, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

 

Gawat, Kapolri Tak Tahu Anak Buahnya Kepung KPK

Ketua DPP Partai Amanat Nasional Bima Arya Sugiarto (kala itu) menyesalkan ketidaktahuan Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo ihwal adanya anggota Polri yang mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat malam, 5 0ktober 2012.

"Kalau Kapolri sudah menyatakan seperti itu, ini ada yang gawat, ada yang serius," kata Bima di Jakarta, Sabtu, 6 Oktober 2012.

Menurut dia, keadaan ini sudah seperti kejadian pada 1998 lalu kala ada mobilisasi liar dari satuan-satuan perangkat kekuasaan.

Karena itu, Bima melanjutkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya memanggil Kapolri secepatnya untuk meminta penjelasan ihwal tidak adanya koordinasi dalam institusi Polri seperti malam tadi (5/10/2012).

"Ini kan bahaya, provos bisa dimobilisasi karena kepentingan-kepentingan elemen yang sifatnya personal."

Sejumlah anggota Polri dari Kepolisian Daerah Bengkulu, Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan Markas Besar Polri mendatangi kantor KPK Jumat malam, 5 Oktober 2012. Mereka, yang sebagian tidak menggunakan seragam, ditengarai ingin menjemput paksa seorang penyidik senior di KPK bernama Novel Baswedan. Novel dianggap terlibat dalam aksi pembunuhan pada 2004 lalu.

Usaha penangkapan Novel ini digagalkan Ketua KPK Abraham Samad (kala itu) bersama anggota lain seperti Bambang Widjojanto (kala itu). Bahkan, kalangan penggiat anti korupsi serta aktivis mahasiswa ikut membentengi gedung KPK dari penggerebekan polisi.

Novel dituduh bertanggung jawab atas penganiayaan enam pencuri walet sehingga meninggal pada 2004.

Kala itu, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal pada polres di Polda Bengkulu. Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto (kala itu) menuding Novel menembak tersangka yang terlibat kasus pencurian. Dedy juga membantah penangkapan Novel sebagai bentuk kriminalisasi KPK.

Sedangkan pimpinan KPK menduga tuduhan tersebut sebagai bentuk kriminalisasi terhadap penyidiknya. Sebab, Novel adalah penyidik berbagai kasus besar korupsi, seperti kasus korupsi simulator kemudi. Novel juga yang memeriksa tersangka kasus simulator SIM yaitu Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

 

Keluarga Korban Tidak Laporkan Kasus Novel

Keluarga Mulyan Johani, korban tewas yang diduga akibat penganiayaan berat oleh polisi pada pemeo 2004, menyatakan tidak melaporkan pengusutan kasus itu ke Kepolisian Daerah Bengkulu belakangan ini. Pihak keluarga masih sebatas menunggu janji dari kepolisian untuk pengusutannya.

"Sebenarnya kami dari keluarga sudah ikhlas, meski kami sebenarnya ingin pelaku penembakan dan penganiayaan tersebut dihukum," kata Antoni Besmar, kakak kandung Mulyan, ketika ditemui, Sabtu, 6 Oktober 2012. Dia menegaskan, pihaknya juga tidak menyampaikan laporan atau mendesak kepolisian melalui korban lain.

Anton meminta kepolisian tidak memanfaatkan kasus penyiksaan Mulyan untuk menjerat Novel Baswedan, penyidik dari kepolisian yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan kepentingan lain.

"Jika mereka ingin mengusut, usut sampai tuntas, tapi jangan kasus ini dimanfaatkan untuk menjatuhkan Novel," katanya. Anton menyayangkan mengapa kasus ini baru diangkat sekarang setelah bertahun-tahun mengendap di kepolisian.

Kepolisian mengungkit kembali kasus penyiksaan itu terkait dengan upaya penangkapan Novel yang disebut-sebut sebagai pelaku utama. Jumat malam (5/10/2012) lalu, sejumlah aparat kepolisian dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya gagal menjemput paksa Novel di kantor KPK.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu Komisaris Besar Dedy Irianto (kala itu) mengatakan pihaknya membuka kembali kasus itu karena ada desakan dari korban. "Kami tidak mencari-cari. Mereka yang melapor," katanya ketika ditemui di kantor Humas Polri.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bengkulu AKBP Tien Tabero (kala itu) mengatakan pengusutan kasus itu berdasarkan laporan korban, Erwansyah dan Dedi Mulyadi, melalui kuasa hukumnya, Yuliswan, pada 1 Oktober 2012 lalu.

Penyidik telah memeriksa saksi dan korban, mengambil proyektil di kaki tersangka, menyita arsip visum mayat, dan mengamankan barang bukti, salah satunya pistol jenis revolver. "Setelah ini, kami akan melakukan uji balistik pistol Iptu N di laboratorium," dia menjelaskan pada keterangan pers di Bengkulu.

Menurut versi kepolisian, kronologi kasus itu berawal dari penangkapan pelaku pencurian sarang walet pada 18 Februari 2004, yakni Rizal Sinurat, Dedi Mulyadi, Erwansyah Siregar, Ali, Doni, dan Mulyan Johani. Setelah sempat ditahan di Kepolisian Resor Kota Bengkulu, keenam tersangka dibawa ke Pantai Panjang. Berdasarkan pengakuan Erwansyah Siregar dan Dedi Mulyadi, menurut polisi, mereka ditembak di bagian kaki kiri oleh Iptu Novel.

Saat ini korban yang juga pelapor belum bisa ditemui. "Untuk keamanan, pelapor kami amankan," kata Tien Tabero sekaligus menolak memberi tahu keberadaan dan identitas lengkap si pelapor. Sementara itu, dalam Lapsit tertanggal SPKT tanggal 1 Oktober 2012, tidak ditunjukkan siapa yang melaporkan kasus tersebut.

 

Ini Kejanggalan Penetapan Novel Baswedan sebagai Tersangka

Lembaga bantuan hukum Jakarta mengungkap adanya kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantas Korupsi. Anggota LBH Jakarta yang juga sekaligus kuasa hukum Novel, M. Isnur, mengatakan Novel dilaporkan oleh polisi dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang pencuri sarang burung walet.

"Laporan polisi terhadap Novel Baswedan dibuat oleh polisi bukan masyarakat," kata M. Isnur, Rabu, 25 Februari 2015.

Polisi kembali mengangkat kasus Novel Baswedan dengan membuat surat perintah penyidikan lanjutan tertanggal 17 Februari 2015. Kasus Novel ini mencuat pertama kali pada 2012. Ketika itu, Novel sedang mengusut kasus Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Pada 2012 itu, polisi sempat menggeruduk KPK untuk menangkap Novel. Kasus ini kemudian dihentikan sementara setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyudahi perseteruan KPK-Polri ketika itu.

Menurut Isnur terdapat beberapa kejanggalan atas kasus ini. Pertama, polisi melaporkan Novel atas dugaan penganiayaan hingga korban meninggal. Namun nyatanya, keluarga korban justru melindungi Novel.

Selain itu, Novel tak berada di lokasi penyiksaan dan penembakan saat kejadian. Ia baru empat hari menjabat sebagai Kasat Reskrim. "Justru di lokasi kejadian ada wakapolres dan kabag ops, atasan Novel," kata Isnur.

Isnur menganggap upaya kriminalisasi Novel karena adik Anies Baswedan ini kerap memberantas judi, pembalakan hutan, dan peredaran narkoba. Isnur menduga Novel sangat dibenci oleh kawan sejawatnya dan provost.

Serangan kepolisian tak main-main, bahkan anak buah Novel dan pihak yang diduga tak terlibat turut disidangkan dan diancam diberi sanksi. Akhirnya untuk melindungi anak buah, Novel mengambil alih tanggung jawab. Di Polres Novel diberi sanksi teguran. Tapi, tiba-tiba Polda Bengkulu mengeluarkan penahanan selama tujuh hari.

Dalam surat pemanggilan, Novel dikenakan pasal penganiayaan 351 KUHP jo 422. Isnur menilai adanya kejanggalan karena pasal soal kematian tersangka tak dimasukkan. Keterangan korban juga simpang siur. Dalam pemeriksaan kasus ini, kata Isnur, tak ada polisi lain yang menjadi tersangka. "Padahal di lokasi banyak pelaku," kata dia.

Sejumlah pihak menyebutkan Novel sengaja dikriminalisasikan karena menjadi salah satu penyidik KPK yang mengusut kasus korupsi simulator surat izin mengemudi dengan tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo pada 2012. Djoko sudah dihukum dan kasus Novel akan kedaluwarsa tahun depan.

 

Polisi Berdalih Korban Novel Baru Menuntut

Kepala Badan Reserse kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Sutarman (kala itu), keberatan jika upaya penangkapan terhadap Komisaris Novel Baswedan disebut sebagai kriminalisasi. Menurut dia, kasus penembakan terhadap pencuri sarang burung walet di Bengkulu yang diduga melibatkan Novel merupakan pelanggaran hukum.

“Jangan latah menyebut kriminalisasi. Itu artinya perbuatan yang tadinya bukan kriminal lalu dijadikan kriminal,” katanya saat memberi keterangan pers di Markas Besar Kepolisian RI, Sabtu, 6 Oktober 2012.

Kasus di Bengkulu yang diduga melibatkan Novel pada 2004 silam itu, menurut Sutarman, sudah jelas. “Diborgol, dibawa ke markas, lalu dibawa ke pantai dan ditembak sampai salah satu meninggal. Peristiwanya memang ada. Tapi siapa yang melakukan, sedang disidik,” kata dia.

Dikatakan Sutarman, penyelesaian kasus tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Saat ini masyarakat maupun polisi tak bisa menentukan Novel bersalah atau tidak. “Selama proses penyidikan tidak boleh menentukan salah atau benar. Penyidik hanya mengumpulkan bukti-bukti,” tuturnya.

Dia juga menolak jika kasus tersebut dikaitkan dengan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM yang sedang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi Novel adalah penyidik yang menangani kasus simulator dan menyidik Inspektur Jenderal Djoko Susilo saat diperiksa kemarin. “Ini murni penegakan hukum, jangan dibentur-benturkan,” kata dia.

Menurut dia, polisi sama sekali tak bermaksud mengerdilkan KPK. Ia menyebut kepolisian sebagai salah satu institusi yang membesarkan KPK. Contohnya dengan memberikan penyidik dan mengajak KPK menangkap Nazaruddin di Bogota. "Kalau terus dibawa seperti ini, kapan kita bekerja dan menangkap koruptor," ucapnya.

Sutarman pun menambahkan, “Bisa dilihat rekayasa atau tidak. Yang membuktikan nanti pengadilan,” katanya. Di lain pihak, Direktur Reserse Kriminal Polda Bengkulu, Dedy Irawan, yang turut memberikan keterangan pers pun mengatakan kasus Novel telah ditindak melalui prosedur pelanggaran disiplin dan kode etik. Namun, kasus pidananya memang belum disentuh sejak 2004.

Ketika ditanya mengapa pengusutan kasus pidana itu baru dilakukan sekarang, Dedy hanya beralasan korban baru melakukan tuntutan. “Baru ada tuntutan sekitar sebulan lalu. Kami didesak terus,” katanya.

Oleh sebab itu, akhirnya Dedy bersama dua anggotanya dan empat personel Polda Metro Jaya mendatangi kantor KPK untuk berkoordinasi. Mereka membawa serta berita_oke acara pemeriksaan, surat-surat, dan kelengkapan redaksiistrasi untuk menangkap Novel.

 

Novel: Saya Sudah Menyangka Bakal Dikriminalisasi

Sebelum Kepolisian Daerah Bengkulu menyambangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik KPK Komisaris Novel Baswedan sudah menyangka bakal ada upaya kriminalisasi terhadap dirinya. Dan ia menegaskan tidak pernah terlibat kasus penganiayaan serta penembakan enam pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004, seperti yang dituduhkan Direktur Reserse dan Kriminal Umum Kepolisian Daerah Bengkulu, Komisaris Besar Dedy Irianto.

“Saya tidak berada di lokasi kejadian,” katanya kepada Tempo di Gedung KPK, Sabtu, 6 Oktober 2012 lalu.

Novel memang berkukuh tak terbelit perkara pencurian burung walet. Tapi ia menyatakan siap menghadapi tudingan yang datang kepadanya. “Saya siap menghadapi (tuduhan itu),” kata Novel.

Kasus yang telah lewat bertahun-tahun ini kembali muncul ke permukaan setelah Komisaris Besar Dedy Irianto datang ke gedung komisi antirasuah itu dengan membawa surat penangkapan Novel, Jumat malam, 5 Oktober 2012. Tapi pencidukan gagal dilakukan usai Ketua KPK Abraham Samad (kala itu), Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kala itu), dan pimpinan KPK lainnya turun tangan.

Kata Bambang, upaya penahanan Novel telah direncanakan selama beberapa hari. “Ini bentuk kriminalisasi terhadap KPK,” kata Bambang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Sabtu, 6 Oktober 2012 lalu.

Dedy dan sejumlah polisi dari Polda Bengkulu serta Polda Metro Jaya bertandang ke KPK beberapa jam setelah penyidik komisi memeriksa mantan Kepala Korps Lalu lintas Kepolisian Inspektur Jenderal Djoko Susilo terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri.

Guna meringkus Novel, bukan cuma gedung KPK saja yang digeruduk polisi. Kediaman Novel di kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara. Namun Dedy membantah penangkapan itu merupakan bentuk kriminalisasi KPK.

“Tidak ada tendensi, ini murni kriminal,” kata Dedy dalam jumpa pers tandingan di Mabes Polri Sabtu (6/10/2012) lalu.

Dedy mengatakan kasus penembakan tersangka burung walet yang sudah lewat delapan tahun itu terbuka lagi lantaran desakan dari korban. Sekitar satu atau dua bulan lalu, tiga korban melaporkan Novel ke Polisi Resor Bengkulu.

Dedy mengklaim kedatangan korban bukan berdasar panggilan polisi. “Mereka yang melapor, terutama korban yang pelurunya masih bersarang di kaki, dia mengaku masih merasa nyeri," kata Dedy.

Didampingi Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Suhardi Aliyus, Dedy berkata Novel diduga menembak enam tersangka pencuri sarang burung walet di pinggir Pantai Panjang Ujung, Bengkulu. Dari penembakan itu, satu orang meninggal dan lima orang luka-luka.

Korban yang melapor juga hanya tiga dari lima yang mengalami luka. Dua korban lainnya diduga sudah bertempat tinggal di luar daerah Bengkulu karena sudah berlangsung delapan tahun.

"Pelapor termasuk tersangka yang sebenarnya tidak mencuri tetapi ditembak dan dihukum selama enam bulan.” Namun Dedy tidak dapat menjelaskan alasan polisi meneruskan pidana kasus yang sidang kode etiknya sudah selesai pada 2004.

Novel adalah penyidik kasus korupsi simulator alat uji Surat Izin Mengemudi. Dia juga yang memeriksa tersangka simulator kemudi, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Tak hanya itu, pada 31 Juli 2012 dia pun ikut menggeledah Markas Korlantas, di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan.

Dengan pengorekan perkara penembakan yang sudah lama ini, pimpinan KPK Bambang Wijodjanto mengatakan dugaan rekayasa sangat terasa. “Kasus itu terjadi pada 2004, tapi baru diusut pada saat KPK sedang giat menyidik kasus korupsi simulator alat uji Surat Izin Mengemudi 2011,” ujar Bambang.

 

KPK Yakin Kasus Novel Direkayasa

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto, menegaskan kasus tuduhan pembuhunan yang dituduhkan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, adalah rekayasa. "Ini mengada-ada. Kalau penegak hukum sudah rekayasa kasus, bagaimana mau hukum ditegakkan," kata Bambang di KPK, 6 Oktober 2012.

Novel adalah penyidik kasus korupsi simulator pembuatan surat izin mengemudi. Kemarin, Novel memeriksa tersangka kasus itu, Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Dia juga ikut menggeldah markas Korps Lalu Lintas, 31 Juli 2012 lalu.

Jumat 5 oktober 2012 malam, Kepolisian Daerah Bengkulu hendak menangkap Novel di KPK. Bahkan diterjunkan sekitar dua kompi personel polisi, dari provost, Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Markas Besar Kepolisian. Tapi Markas Besar Polisi membantah hal ini.

Adapun Novel dituduh melakukan penganiayaan terhadap enam pencuri walet sehingga menyebabkan meninggal pada 2004 lalu. Kala itu, Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal pada Polres di Polda Bengkulu.

Bambang mengatakan dugaan rekayasa sangat terasa. Sebab kasus itu terjadi pada 2004 lalu, tetapi baru saat ini diusut. Dimana KPK sedang giat menyidik kasus korupsi simulator alat uji Surat Izin Mengemudi 2011. "Saya mau mengatakan ini adalah kriminalisasi,"kata dia.(*)

Semua Isi berita_oke dihimpun dari Tempo.co.

BERITA TERKAIT