Begini Nasihat Sapardi Djoko Damono: “Jangan Menulis Saat Jatuh Cinta”

"Kalau Saudara sedang sangat marah, misalnya, itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi Dongeng Marsinah itu dalam keadaan sangat marah, makanya itu butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya.
KABARRIAU.COM, Jakarta - Penyair Sapardi Djoko Damono punya resep khusus di balik kedahsyatannya menulis. Ia menceritakan rahasianya itu saat mengisi acara Workshop Festival Pembaca Indonesia 2015 di Jakarta pada Sabtu, 5 Desember 2015.
Sapardi mengaku tak pernah menulis saat dirinya sedang dalam keadaan emosi yang tidak stabil, misalnya saat jatuh cinta, patah hati, sangat marah, sangat sedih, atau bahkan sangat rindu. "Kalau Saudara sedang sangat marah, misalnya, itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi Dongeng Marsinah itu dalam keadaan sangat marah, makanya itu butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya. Bahkan, sampai sekarang pun, kalau saya membaca lagi puisi itu, saya masih marah dan ingin memperbaikinya," katanya dalam acara itu.
Peraih penghargaan untuk pencapaian seumur hidup dalam sastra dan pemikiran budaya dari Akademi Jakarta itu yakin orang yang sedang dalam emosi tinggi atau marah tak akan bisa menulis puisi dengan baik. "Kalau emosi tinggi, jangan nulis, nanti puisinya tanda pentung semua, siapa yang bisa baca? Tenangkan dulu perasaannya. Ajak bicara emosinya, 'Hei, saya mau nulis dulu, kamu menyingkir dulu', jadi harus ada jarak antara penyair dan apa yang akan disyairkan. Namanya, jarak estetis," kata guru besar pensiun (profesor emeritus) Universitas Indonesia itu.
Sapardi mengisahkan, saat menulis Dongeng Marsinah, dirinya merasa benar-benar marah dan sulit berjarak dengan karyanya, mengingat peristiwa pembantaian Marsinah benar-benar telah membuat sastrawan kelahiran Surakarta itu marah.
Sapardi menulis puisi sejak 1957. Pertama kali ia menerbitkan Duka-Mu (1969), yang diikuti dua kumpulan sajak tipis pada 1974, Mata Pisau dan Akuarium. Perahu Kertas dan Sihir Hujan masing-masing mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta dan Anugerah Puisi Putera, Malaysia, pada 1983.
Selain puisi, Sapardi menulis cerita pendek dan novel, seperti Membunuh Orang Gila, Trilogi Soekram, dan Hujan Bulan Juni. Buku-buku esainya yang mutakhir adalah Tirani Demokrasi, Slamet Rahardjo, Sebuah Esai, Mengapa Ksatria Memerlukan Punakawan?, serta Alih Wahana.(*)
Liputan : Piter.
Kategori: Tips/Tokoh.
Sumber: Tempo.co.