Meski Janggal Namun Tetap Dilantik

Hendrar Prihadi-Hevearita dilantik pada Rabu 17 Februari 2016 hari ini. Pasangan yang diusung PDIP ini dilantik di Lapangan Simpanglima Semarang bersama dengan 20 pasangan kepala daerah terpilih lainnya di Jawa Tengah.
KABARRIAU.COM, Semarang - Pasangan walikota-wakil walikota terpilih Kota Semarang, Hendrar Prihadi-Hevearita dilantik pada Rabu 17 Februari 2016 hari ini. Pasangan yang diusung PDIP ini dilantik di Lapangan Simpanglima Semarang bersama dengan 20 pasangan kepala daerah terpilih lainnya di Jawa Tengah.
Sejak awal, pasangan Hendy-Ita, memang diprediksi bakal memenangi pemilihan walikota Semarang. Pasangan ini diusung PDIP, partai pemenang dalam pemilu 2014 di Kota Semarang. Selain itu, posisi Hendy sebagai inkumben juga menjadi modal tersendiri. Dari segi popularitas, Hendy sudah dikenal. Ia pun diduga memanfaatkan posisinya untuk pemenangan.
Lihat saja, kampanye terbuka pasangan calon walikota-wakil walikota Semarang Hendy-Ita pada 1 Desember 2015 tampak berbeda dibandingan dengan dua pasangan calon lain.
Kala itu, meski Lapangan Pancasila Simpanglima Kota Semarang masih dalam tahap pembenahan. Tak boleh digunakan untuk acara konser. Tapi pasangan yang diusung PDIP ini bisa menggunakan lapangan tersebut.
Padahal, dua pasangan calon lain, yakni Soemarmo-Zuber yang diusung PKB-PKS dan pasangan Sigit Ibnugrogo-Agus Setyoso (Gerindra, Golkar, dan PAN), sebenarnya juga ingin berkampanye di lapangan Simpanglima. Dua pasangan calon ini terpaksa menggunakan Lapangan Trilomba Juang yang lokasinya tidak strategis dibanding lapangan Simpanglima.
Ketua Tim Pemenangan Sigit-Agus, Joko Santoso menyatakan ingin menggelar kampanye di Lapangan Simpanglima tapi akhirnya dibatalkan. “Ada imbauan dari Pemkot Semarang Simpanglima masih dalam tahap perbaikan,” kata Joko.
Dalam laporan dana kampanye, pasangan Hendy-Ita melaporkan dana kampanye untuk rapat umum itu hanya sebesar Rp 108 juta. Padahal, sesuai perda Kota Semarang Nomor 6 tahun 2008 tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah menyebutkan biaya sewa.
Lapangan Pancasila Simpang Lima Rp. 90 juta (hari biasa) dan 120 juta untuk hari Ahad atau hari libur. Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Semarang pernah menyatakan retribusi lapangan Simpanglima pada Senin- Jumat Rp 210 juta dan pada akhir pekan atau hari libur Rp Rp 225 juta.
“Laporan dana kampanye rapat umum Hendy-Ita ada banyak kejanggalan,” kata relawan JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang memantau dana kampanye, Yedi Permana. JPPR menemukan banyak satuan pengeluaran yang tidak dilaporkan Hendy-Ita.
Menurut perhitungan JPPR, dana yang seharusnya dilaporkan Hendy saat melakukan kampanye rapat umum sebesar Rp 317 juta. Beberapa item biaya dana kampanye yang tak dilaporkan misalnya transportasi para pendukung, biaya sewa lapangan Simpanglima, biaya konsumsi dan lain-lain.
Padahal, seluruh satuan pengeluaran dana kampanye harusnya dilaporkan ke KPUD. Apalagi, KPUD Kota Semarang bersama para kontestan juga sudah sepakat membatasi biaya kampanye, yakni maksimal Rp 16 miliar. Selain itu, kata Yedi, pengeluaran dana kampanye perlu transparan untuk mengetahui darimana saja perolehan dana para calon. “Kami khawatir ada penyumbang yang memiliki kepentingan saat calon terpilih menjadi kepala daerah,” kata Yedi.
JPPR menemukan pengeluaran dana kampanye para calon tidak sesuai dengan pengeluaran riil. Ia mencontohkan selama masa kampanye, tiga pasangan calon di Semarang melakukan kegiatan yang hampir sama. Intensitas dan model kampanye mereka juga hampir sama, seperti dialog, berkunjung ke warga, hingga kampanye terbuka.
Tapi selisih pengeluaran dana yang dilaporkan ke KPUD terpaut sangat jauh. Pasangan Soemarmo-Zuber melaporkan pengeluaran dana kampanye Rp 1,8 miliar, Hendy-Ita Rp 995 juta dan Sigit Ibnugroho-Agus Setyoso Rp 5,7 miliar.
Untuk kampanye rapat umum, tiga pasangan juga membuat laporan yang terpaut jauh meski kegiatannya hampir sama. Soemarmo-Zuber melaporkan Rp 347 juta, Sigit-Agus Rp 746 juta adapun Hendy-Ita hanya Rp 108 juta. “Meski kegiatannya hampir sama tapi angka terpautnya sangat jauh,” kata Umi Hanik, relawan JPPR.
Dari sisi pemasukan dana kampanye, hampir semua pasangan calon hanya memperoleh dana dari kantong pribadi, sumbangan para anggota DPRD serta dari partai politik. Tidak ada satupun sumbangan dari pengusaha. “Padahal, Semarang adalah kota jasa dan industry,” kata Yedi.
JPPR menduga sebenarnya ada pengusaha yang menyumbang pasangan calon tapi tidak dimasukan dalam laporan dana kampanye. Saat memantau kegiatan pasangan Hendy-Ita, relawan JPPR Umi Hanik menemukan ada peran seorang pengusaha dalam kegiatan tersebut.
Saat ada kegiatan pengajian di rumah Hendy, ada mobil yang mengangkut para peserta kampanye. Mobil tersebut bertuliskan PT Candi Golf tapi, lagi-lagi saat dicek di laporan dana kampanye tidak ada satupun sumbangan, misalnya berupa barang dari perusahaan tersebut.
Pantauan Tempo yang diliris Okeline menemukan kegiatan kampanye rapat umum di Simpanglima, ada ribuan pendukung Hendy-Ita yang berasal dari AJT (Andalan Jeli Tangguh). Organisasi ini diketahui mendukung Hendy-Ita karena banyak sekali bendera dan spanduk di lokasi kampanye. Selain itu, ada juga ribuan warga mengenakan kaos bertuliskan AJT di lokasi kampanye. Mereka naik truk dari berbagai kecamatan ke kampanye Hendy-Ita.
Sekretaris AJT, Dwi Saputra menyatakan AJT memang memberikan dukungan dan berafiliasi langsung dengan Hendi-Ita . Tapi, lagi-lagi dalam laporan dana kampanye tidak ada pencantuman sumbangan dari AJT.
Hendy mengakui kontribusi pemenangan para relawan, termasuk AJT sangat besar. Ia mengklaim semua laporan dana kampanye sudah sesuai dengan aturan yang ada.
Hal ini dibuktikan dengan hasil audit kantor akuntan publik yang menyatakan laporan dana kampanye telah mematuhi persyaratan dan disajikan secara wajar.
JPPR menilai metode audit kepatutan yang dilakukan auditor tidak memberikan aspek investigative dalam menelusuri dana kampanye. “Sebagian besar hanya memeriksa asersi (pernyataan calon untuk diaudit) yang disesuaikan dengan aturan dana kampanye,” kata Umi Hanik.
Akibatnya, tidak dapat menelusuri biaya riil yang dikeluarkan pasangan calon. JPPR menemukan pengeluaran pasangan Hendy-Ita di LPPDK (Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye) hanya 995 juta.
Sementara hasil pemantauan JPPR menemukan pengeluaran mencapai Rp 1,3 miliar. JPPR juga menemukan pengeluaran pasangan Soemarmo-Zuber dalam rapat umum sebesar Rp 483 juta. “Pasangan ini hanya melaporkan Rp 347 juta,” kata Umi Hanik.
JPPR mendesak ke KPU agar membuat regulasi yang ketat atas dana kampanye. Seharusnya, kata dia, dana kampanye para calon harus diumumkan secara transparan sejak awal hingga akhir. Termasuk para penyumbang dana kampanye yang sangat rawan disusupi dari para pemodal yang akan mempengaruhi kebijakan calon trepilih saat menjabat sebagai kepala daerah.
JPPR mengusulkan agar laporan dana kampanye juga disertai dengan laporan narasi yang menjelaskan secara tertulis kegiatan kampanye. Tujuannya agar menciptakan transparansi.
Anggota KPUD Kota Semarang Agus Suprihanto memang banyak yang menilai laporan dana kampanye pasangan calon tidak wajar. Tapi, KPUD tidak memiliki kewenangan melakukan kajian. “Yang melakukan adalah KAP (Kantor Akuntan Publik) sesuai dengan form yang diserahkan para calon,” kata Agus.
Agus menduga banyak pengeluaran dana kampanye yang tidak dilaporan karena sumbangan dari para relawan. Sementara, dalam aturannya yang wajib dilaporkan adalah dana kampanye pasangan calon dan tim sukses yang terdaftar di KPUD. Sesuai peraturan KPU, relawan seharusnya didaftarkan di KPUD. Tapi di Semarang tidak ada relawan yang mendaftarkan diri,” kata Agus. Padahal, kontribusi relawan dalam pemenangan sangatlah besar.
Audit laporan dana kampanye oleh kantor akuntan juga bersifat redaksiistrative, misalnya apakah laporan tepat waktu, apakah periode pelaporan tepat waktu, batasan penyumbang, dan batasan dana kampanye. “Sementara KAP tidak punya kewenangan audit investigasi,” kata Agus.
Ketua KPUD Semarang Hendry Wahyono mengakui laporan dana kampanye memang seolah-olah janggal dan tidak sesuai fakta. Ia setuju sistem pelaporan dana kampanye harus diperbaiki.
Misalnya tidak ada lagi pasal bersayap yang bisa disiasati para kontestan calon maupun partai politik. Misalnya, akuntan publik harus diberi wewenang melakukan investigasi. Selain itu, dana relawan juga harus diperketat. “Rekomendasi JPPR ini dibawa ke KPU RI agar menjadi kebijakan nasional,” katanya.(*)
Liputan : Piter.
Kategori: Politik.