delikreportase.com

Copyright © delikreportase.com
All rights reserved
Desain by : Aditya

Mantan Kepala Dinas Perkebunan Riau di Tahan Kejati

Perbuatan tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat 1, pasal 3, pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP.

KABARIAU.COM, Pekanbaru - Mantan Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo terkait statusnya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek kebun kelapa sawit dalam program pengentasan kemiskinan dan kekurangan infrastruktur ditahan Kejaksaan Tinggi Riau.

Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau Mukhzan dalam pernyataan persnya di Pekanbaru, Kamis (23/4/2015), kerugian negara mencapai sekitar Rp28 miliar.

"Penahanan tersebut dilakukan selama 20 hari ke depan terhitung dari 22 April sampai dengan 11 Mei 2015," katanya.

Penahanan terhadap tersangka Susilo berdasarkan surat perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Nomor Print-03/N.4/Fd.1/04/2015 tanggal 22 April 2015. Ia menjelaskan, penahanan tersebut dilakukan untuk mempermudah proses penyidikan dan sudah memenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP.

"Perbuatan tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat 1, pasal 3, pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU No 20 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP," katanya.

Dengan begitu, Kejati Riau telah menetapkan dua tersangka kasus korupsi kebun sawit K2I. Sebelumnya, penyidik kejaksaan telah menetapkan Direktur PT.GEP dengan inisial MC sebagai tersangka, karena selaku rekanan pelaksana kegiatan tersebut.

Mukhzan merinci, kasus tersebut bermula dari kegiatan Pemerintah Provinsi Riau melalui Dinas Perkebunan pada tahun 2006-2010 telah menganggarkan dana untuk pelaksanaan program K2I sebesar Rp217.348.071.221 untuk pembiayaan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit seluas 10.200 hektare (Ha).

Pada Tahun 2006 dibuatlah Perjanjian Kerjasama Tahunan (Kontrak Anak), lanjutnya, antara pihak pertama dan pihak kedua tanggal 18 Desember 2006, dengan nilai kontrak Rp45.540.024.000. Oleh karena pekerjaan dilaksanakan tidak sesuai dengan kontrak, maka dana yang dicairkan adalah uang muka sebesar 20 persen dari nilai kontrak anak, yakni sebesar Rp9.108.004.800.

Pada tahun 2007 dilanjutkan pekerjaan dengan Surat Perjanjian Kerjasama Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Program K2I dengan nilai Kontrak sebesar Rp73.215.678.300.

Ia mengatakan dalam pelaksanaannya, penanaman hanya dilakukan seluas 534 ha, padahal seharusnya sampai dengan akhir tahun 2007 tersebut seluruh lahan seluas 10.200 Ha sudah tertanam semuanya.

Dengan demikian, progres fisik hanya mencapat 6,65 persen dan oleh karenanya dana yang dicairkan hanya uang sebesar 20 persen dari nilai kontrak, yakni sejumlah Rp14.643.135.660.

"Walaupun realisasi fisik tidak sesuai dengan kontrak, namun pada tahun 2008 pelaksanaan pekerjaan pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit Program K2I tetap dilanjutkan dengan ditandatanganinya  surat perjanjian kerjasama oelaksanaan pekerjaan pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit program K2I dengan nilai kontrak Rp39.018.087.200," katanya.

Selain itu, ia mengatakan pada tahun 2007 kontraktor melaksanakan beberapa item pekerjaan yang tidak tertuang dalam kontrak. Agar dapat dilakukan pembayaran terhadap pekerjaan yang dilaksanakan diluar kontrak, maka pengguna anggaran tahun 2008 yakni tersangka Susilo menandatangani Amandemen Perjanjian Kerjasama Kontrak Induk Untuk Pekerjaan Pembangunan, Pengelolaan dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Program K2I dan Revitalisasi di Propinsi Riau.

Tersangka juga melakukan Addendum Perjanjian Kerjasama Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan dan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Program K2I, sehingga pembuatan Amandemen dan Addendum tersebut sudah bertentangan dengan Keppres 80 Tahun 2003 Lampiran I Bab II D.1.g.

Sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2008, ia mengatakan progres fisik pekerjaan adalah 11,846 persen dengan jumlah lahan yang tertanam hanya seluas 1.441 ha. Namun, tersangka Susilo selaku pengguna anggaran tanpa meminta pertanggungjawaban terhadap uang muka yang sudah diterima oleh PT GEP Tahun 2006 dan 2007, sebesar Rp23.751.140.460, telah melakukan pembayaran uang muka tahun 2008 termen satu dan termen dua sebesar Rp38.881.489.806.

"Sehingga uang negara yang sudah diterima PT GEP adalah sebesar Rp.62.632.630.266, sehingga telah terjadi kelebihan bayar sebesar Rp. 36.885.577.749," katanya.

Kemudian, ia mengatakan pada 2009 PT GEP tetap melanjutkan pembangunan proyek itu walaupun belum ada kontrak baru dengan pemerintah. Masalah dalam proyek itu kemudian menjadi temuan setelah laporan hasil audit Inspektorat Provinsi Riau menyatakan pelaksanaan program K2I.

Dalam salah satu tekomendasinya Inspektorat Riau menyampaikan untuk memerintahkan pengembang untuk mempertanggungjawabkan kekurangan pekerjaan dari jumlah pembayaran yang diterima senilai Rp26.990.480.277,48.

"Itu belum termasuk pekerjaan tambah senilai Rp24.835.043.683,62 yang nilainya masih harus diverifikasi dan negosiasi lebih lanjut sesuai aturan yang berlaku untuk mendapatkan harga yang wajar," kata Mukhzan.

Oleh karena itu, ia mengatakan uang yang sudah dibayarkan oleh Disbun Riau tidak sesuai dengan progres pekerjaan yang dilaksanakan. Maka semenjak tahun 2009, pekerjaan pembangunan kebun sawit K2I tidak dilanjutkan lagi, karena akibat perbuatan tersangka diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp28 miliar.(*)