delikreportase.com

Copyright © delikreportase.com
All rights reserved
Desain by : Aditya

SAHARA Desak KPK Usut Oknum Pengusaha di Riau

Perambahan Hutan di Kuansing

Pekanbaru - Direktur Yayasan Sahabat Alam Raya  (SAHARA), Batara Harahap meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ditjen. Gakkum kementerian LHK (Lingkungan HIdup dan Kehutanan) usut perambah hutan di Riau. sebab, menurutnya, APH (Aparat Penegak Hukum) di daerah gagal melakukan fungsi penegakan hukum, bahkan ia menduga ada persekongkolan.

Dia juga menyebut, laporan sudah dilayangkan beberapa waktu lalu, namun, hingga saat ini belum ada reaksi dari APH, dirinya juga heran, apakah negara ini telah kehilangan harga diri saat berhadapan dengan para penjahat kehutanan ini.

Hal ini ia sampaikan saat ditemui di Pekanbaru, Rabu, 12/04/2023, "kita berhadapan dengan para kriminal di lapangan, dengan resiko tinggi, saat kita laporkan kepada pihak yang berwenang, tidak ada tindakan,"ungkapnya.

Lanjut Batara, sejumlah kejahatan dengan modus membuka lahan perkebunan kepala sawit pada areal hutan lindung terjadi di depan mata , pemerintah daerah sebagai stake holder enggan mengambil tindakan, padahal, katanya, hal ini merupakan salah satu prioritas pemerintahan Jokowi, "lah...kemana instansi yang berwenang?, pemerintah daerah itu kan kepanjangan tangan pemerintah pusat, jika tak becus, mundur aja," ujarnya dengan suara lirih.

"Kita sudah laporkan terjadinya perambahan hutan lindung di Desa Sungai Besar Hilir, Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau seluas 700 hektar," ungkapnya.

Ia menambahkan, dari hasil investigasi lapangan yang dilakukan pihaknya pada bulan Januari 2023, diduga lahan tersebut masuk ke dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Kuantan Singingi Selatan, dengan kata lain, telah terjadi serangkaian tindakan perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan oleh oknum pengusaha H. Ramadi Melki (PT. Milona) yang berpotensi merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

"Itu alasan yang kuat, mengapa kami mendorong KPK dan APH (Aparat Penegak Hukum) lainnya, agar melakukan penyelidikan atas masalah ini, sehingga jelas statusnya," sebut Batara.

Belakangan, santer berita adanya upaya campur tangan pemerintah daerah setempat memberi karpet merah kepada pengusaha tersebut, dengan skema keterlanjuran (UU Ciptaker). Jika hal itu benar, menurutnya, boleh-boleh saja, tapi tetap dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.

Menurutnya, justru disinilah potensi pelanggaran hukum terjadi, pemerintah daerah seyogianya telah menetapkan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dearah Provinsi dan Kabupaten sebelum Undang-undang Ciptaker tahun 2020 diundangkan, untuk itu, menurutnya, KPK perlu melakukan pendalaman terhadap mekanisme yang berjalan, apakah si pengusaha telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor : 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Bidang Kehutanan, secara tekstual disebutkan antara lain, adanya pelunasan PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan DR (Dana Reboisasi) .

"Kami menduga, negara akan kecolongan, misalnya, perhitungan luasan lahan kelapa sawit yang harusnya masuk dalam skema tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan, termasuk, katanya, kewajiban memabayar pajak penghasilan yang seharusnya dibayarkan oleh si pengusaha potensi kecurangannya sangat rentan," urainya.

Batara juga menambahkan, jika dihitung kerugian kerusakan lingkungan dan semua akibat yang timbul atas tindakan yang dilakukan si pengusaha selama bertahun-tahun tidak setara dengan kewajiban yang akan dibayarkan.

Pihaknya juga telah menyurati Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Maret 2023, perihal keberadaan pengusaha tersebut, surat balasan yang diterima, ungkapnya, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi tegas mangatakan bahwa Ramadi Melki (PT. MIlona) bukan merupakan objek pajak alias tidak pernah melakukan kewajibannya sebagai warga negara (objek pajak) atas kepemilikan lahan seluas 700 hektar pada lokasi tersebut.

"Inikan pelanggaran hukum berat, sebagai pengusaha harusnya taat pajak, pemerintah jangan pilih-pilih dong, kalau masyarakat kecil pasti diburu,"pungkas Batara.