Riau Tidak Gunakan Solar Murni untuk BBM Industri

Marketing Operation Region I Sumatera Bagian Utara wilayah Riau menyatakan, dunia industri di provinsi itu telah menggunakan biosolar yang dihasilkan dari bahan bakar terbarukan dicampur dengan bahan bakar fosil solar.
berita_oke Pekanbaru (KR) - PT Pertamina (Persero) Marketing Operation Region I Sumatera Bagian Utara wilayah Riau menyatakan, dunia industri di provinsi itu telah menggunakan biosolar yang dihasilkan dari bahan bakar terbarukan dicampur dengan bahan bakar fosil solar.
"Kalau per harinya itu untuk industri rata-rata sekitar 1.500 kilo liter sampai 2.000 kilo liter atau bersifat fluktuatif sesuai dengan kebutuhan dunia usaha," ujar
Marketing Branch Manager Pertamina Riau Sumbar Ardyan Adhitia di Pekanbaru, Jumat.
Menurutnya, rata-rata yang mereka salurkan untuk industri di Riau sekitar 60.000 kilo liter per bulan yang terdiri dari komposisi sebesar 7,5 persen biofuel dan
selebihnya 92,5 persen adalah solar murni.
Namun khusus untuk mesin pembangkit milik PT Perusahaan ListriK Negara Wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Pertamina punya kewajiban yang harus dijalankan berupa
mandatory atau wajib dipenuhi mengenai pencampuran biofuel sebesar 10 persen.
"Kalau biosolar untuk industri itu, berbeda komposisi campurannya. Ada yang komposisi biofuel 7,5 persen untuk industri dan 10 persen untuk PLN karena mandatory dari
peraturan menteri itu berbeda-beda," katanya.
Menurutnya, kebijakan mandatory atau wajib dipenuhi mengenai pencampuran unsur nabati biofuel ke solar bukan kebijakan yang baru bagi Pertamina karena pada 2008 sudah dijalankan dan pemakaian biosolar di 2009 kembali diwajibkan dengan skenario yang berbeda.
"Tahun lalu diterbitkan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral baru per tanggal 1 Januari 2014, itu Pertamina harus melakukan penjualan dengan komposisi sebesar 10 persen biofuel untuk PLN dan 7,5 persen untuk industri," katanya lagi.
Bank Indonesia Riau bulan lalu menyatakan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan Agustus 2013 mengenai penggunaan bahan bakar nabati untuk mengurangi peningkatan konsumsi bahan bakar minyak, belum sepenuhnya terealisai di provinsi tersebut.
"Kami sudah berkoordinasi dengan asosiasi sawit, kemudian pelaku industri. Ternyata belum maksimal penyerapan dari kebijakan pemerintah itu mengenai penggunaan biodiesel dalam porsi biosolar," ujar Kepala Bank Indonesia Perwakilan Riau, Mahdi Muhammad.
Akibatnya, lanjut dia, impor bahan bakar minyak terutama solar di provinsi tersebut masih sangat besar atau melebihi impor periode yang sama pada tahun lalu karena produk yang diimpor tidak berkurang.
Sedangkan pada satu sisi, pemerintah secara serius menambah pemakaian biodiesel dalam porsi biosolar yang baru mencapai 1,91 persen menjadi 10 persen dalam rangka mengirit pemakaian bahan bakar minyak, disamping melemahnya nilai tukar rupiah.
"Sebenarnya sudah ada kebijakan dari pemerintah yakni melakukan konversi solar itu dari biosolar dengan penggunaan sebesar 10 persen dari biofuel atau produk turunan minyak sawit mentah," katanya.
Pemerintah mengharapkan kebijakan penggunan biodiesel berbahan baku minyak sawit mentah, dapat menekan impor minyak dan gas bumi serta memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan serta mengurangi beban belanja subsidi energi dengan jumlah mendekati Rp300 triliun pada 2014.(MT)